motivasi semangat pemuda
Kisah Semangat Pemuda Mewujudkan Mimpi Belajar
Bagaimana langkahku menggenapkan uang pendaftaran kuliah dan semesteran itu? Setelah berdiskusi dengan beberapa teman akrab, diputuskanlah untuk mengamen.
SEBUTLAH namanya Fulan. Sosok pendidik yang sangat saya idolakan di sebuah Sekolah Menengah Atas, tempat saya menimba ilmu di Maluku. Banyak faktor yang menjadi daya tarik bagi saya pribadi kepada beliau dibanding guru-guru yang lain.
Bersahabat, santun, hormat kepada yang muda, inspiratif, adalah di antara karakter yang menurut saya melekat pada sosok beliau.
Suatu hari, semasa saya duduk di kelas dua, Ustadz Fulan menyampaikan motivasi di depan murid-murid. Tema yang diangkat tentang kemuliaan menuntut ilmu dan mengajarkannya kepada khalayak umum
Pesan yang sangat melekat di benak, beliau bertutur; bahwa sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling banyak memberikan manfaat bagi orang lain.
Guru, masih kata Ustadz Fulan, adalah profesi yang sangat strategis untuk mengewajantahkan visi itu.
“Karena itu, kalian harus semangat belajar. Jangan berhenti sekolah. Harus lanjut ke perguruan tinggi,” sengatnya.
Pesan itu benar-benar menjadi penyulutku untuk terus belajar, dan bertekat melanjutkan studi. Sekalipun saya menyadari, keinginanku itu akan berbentur dengan kondisi finansial orangtua.
Ya. Orangtuaku hanyalah seorang petani biasa. Penghasilannya pas-pasan untuk kebutuhan hidup. Bahkan seringnya kekurangan.
Namun, kondisi itu sama sekali tak mampu meredam api semangat belajarku waktu itu.
Setelah lulus SMA, kuberanikan diri untuk mendaftar kuliah di salah satu perguruan tinggi Islam negeri. Tes. Alhamdulillah diterima.
Persoalannya ada pada biaya. Total yang dibutuhkan Rp 1.300.000. Kukabarkan hal itu ke rumah. Alhamdulillah, tepat sekali waktu itu kedua orangtua mendapat kelonggaran rezeki. Namun, mereka mengaku tak mampu kalau harus memenuhi total biaya yang diperlukan.
“Bapak hanya bisa memberi uang sejuta rupiah,” kata bapak, dari seberang telepon.
“Enggak apa-apa, Pak. Insya Allah nanti saya akan cari tambahannya,” jawabku meyakinkan, agar keduanya tenang.
Bagaimana langkahku menggenapkan uang pendaftaran dan semesteran itu?
Setelah berdiskusi dengan beberapa teman akrab, diputuskanlah untuk mengamen.
Sebagai informasi, sejak duduk di bangku SMA, saya memiliki beberapa teman akrab, dimana kami terus duduk sekelas. Sampai kuliah.
Untuk mengikat tali hubungan, kami pun membuat organisasi. Saya ditunjuk sebagai sekretaris. Tugasku mengurus keadministrasian.
Tidak hanya tempat kuliah, ngekos pun kami bareng. Jadi semakin kloplah kami. Saling membantu ketika dalam kesulitan.
Kesehari-harian teman-temanku itu mengamen untuk menyambung hidup. Dari situlah kami, termasuk saya sendiri, menyandarkan keperluan sehari-hari, misal makan, termasuk membayar kos-kosan.
Namun kenyamananku terusik. Saya merasa bahwa aktivitas mengamen sama dengan meminta-minta.
Akhirnya, ketika hendak naik ke semester tiga, kuputuskan untuk keluar kuliah. Terlebih mendapati kenyataan, saya tidak punya sama sekali uang guna membayar pendaftaran ulang dan semester lanjutan kuliah
.
.
Komentar
Posting Komentar